Jumat, 10 Desember 2010

Gift: Eye



Jumat, 10 Desember 2010.
Tidak ada yang begitu spesial atau patut dipikirkan begitu mendalam di hari itu.
Ya, beberapa kerabat dan temanku merayakan hari jadi mereka, bertambah satu tahun dalam hidup mereka. Atau juga beberapa pasangan terbentuk di hari ini. 101210. Nice date, isn’t it?

Hari itu aku hanya punya satu tujuan. Pergi ke Depok. Bertemu dengan kakak-kakak kosan juga mengurus satu hal yang masih terkait dengan kuliah. Tontonan yang pertama kali kulihat di tv pun juga tidak begitu spesial. HBO. Aku lupa judulnya, ditambah lagi aku menontonnya di 10 menit terakhir. Film itu secara kesimpulan menceritakan tentang seorang dokter yang mengalami kebutaan di tengah karirnya dan ia tetap masih bisa berkarya setelah ia menerima dirinya bahwa ia mengalami kebutaan.

Then…?

Ketika aku tiba di Depok, sebelum menuju kosan, aku membeli minuman di pertigaan jalan Kober. Aku melihat dia lagi. Dia adalah seorang bapak yang selalu menarik perhatianku sejak 1 tahun terakhir ketika aku masih menghabiskan banyak hariku di Depok. Bapak ini tidak special, tapi ia menarik pikiranku untuk merenung juga flash back.

Bersyukur.

Bapak ini mengajarkan aku untuk bersyukur karena aku masih mempunyai dua mata yang masih bisa melihat. Tidak sehat memang. Aku punya kelemahan, minus juga silindris. Namun, seperti inilah sebuah kacamata yang sederhana bisa mengatasi kelemahan kedua mataku menjadi sehat seperti seharusnya. And this man? Tidak sepertiku. Sebuah kacamata tidak dapat mengatasi kelemahannya. Kacamata yang canggih sekalipun. Hanya, sebuah kalimat terlintas di otakku kala itu “Bapak ini bisa melihat. Ia punya dua mata yang sehat. Hanya ia dan Tuhan yang tahu, dan kita tidak dapat mencari dan melihatnya.”

Baru hari itu aku membagi berkat Tuhan padaku kepadanya. Setelah satu tahun aku hanya menganggap bapak ini menarik.

Flash back dimulai ketika aku berjalan menuju kosan. Bapak ini memiliki seorang istri yang serupa keadaannya dengan dirinya. Bapak ini punya keluarga. Beliau memiliki anak laki-laki yang pernah kulihat menuntunnya dan juga ibunya. Kemudian bapak men-setting pianika miliknya untuk mulai mengamen, ibu juga mulai merapikan banyak plastik tisu untuk ditata dan dijual. Lalu anaknya… Luar biasa. Ia tidak serupa dengan bapak dan ibunya, tapi aku yakin, anak ini memiliki hati yang serupa dengan mereka. Hati yang tulus.

Kurasa, anak ini tau dimana letak kedua mata yang bisa melihat, milik bapak dan ibunya.

Dulu aku pernah naik mobil angkot bersama ibu. Di sebuah mesjid, dua orang tua menaiki angkot yang kami tumpangi. “Bang, turunin di Kranji yak.” Aku menoleh dan aku tau kalau suara barusan adalah suara anak dari dua orang tua ini, orang tua anak ini, orang tua yang memiliki kelemahan di kedua mata mereka tapi tidak dimiliki oleh anak mereka. Anak ini… Luar biasa.

“Dua orang buta, menikah, punya anak, dan anak mereka nggak buta. Tuhan baik yah, kak”, begitu kata ibuku ketika mobil angkot sudah melaju.

Aku seringkali mengeluh untuk mengganti kacamataku. Minus dan silindris kurasa sudah bertambah, kilahku. Padahal sebenarnya aku hanya ingin mengganti frame-nya saja. Yeah, I am a dynamic person dan tidak bisa melihat sesuatu yang bagus yang kupikir akan sesuai di diriku. It is a must for me. It was. Sekarang, aku diajar untuk menjadi sabar. Ekonomi. Usaha. Azas manfaat. Apapun itu yang membuatku untuk nyaman tetap bertahan didalam kondisi: kacamata ini sudah harus diganti karena sudah 3 tahun.

Aku tertawa ketika sedang berjalan kala itu.

Sungguh… miris. Aku bisa dengan leluasa mengungkapkan keluhanku terhadap sebuah benda yang tidak bisa memuaskan diriku tapi bisa mengatasi kelemahanku. Tetapi bapak itu? Ibu itu? Yang pernah kutemui di angkot? Keleluasaan ungkapan keluhan mereka mungkin masih terucap. Dalam doa mereka. Namun, mereka tidak bisa menemukan hal yang nyata yang bisa mengatasi kelemahan mereka. Tidak seperti kacamata. Tidak seperti operasi. Tidak seperti laser lasik.

They can live. They can smile. They do… What every single normal-eye-human can do. Dengan kedua mata khas mereka.

Pikiran juga membawaku ke apa yang terah aku capai sekarang. Aku bisa menyelesaikan kuliah. Ketika aku diminta menjadi orang di depan kamera, masih banyak toleransi yang diberikan kepadaku karena aku berkacamata. Aku bisa menari. Truthfully, ketika aku melepas kacamataku, dunia menjadi sangat buram, seperti semua diedit dengan Photoshop. Alasan itulah yang nyata, kemudian teman-teman satu grupku percaya padaku: that I can do more better if I wore my glasses.

Aku menarik nafas kala itu. Terima kasih Tuhan. Seorang yang tak spesial di mata orang kebanyakan, bisa jadi spesial dan luar biasa untukku. Mengingatkanku untuk selalu menghadap-Mu. Mengingatkanku kalau mereka ciptaan yang segambar dan serupa seperti-Mu juga. ^^

Flash back terhenti dan aku makin memantapkan langkah kaki berjalan ke arah kosan.

“Heh bayi, mau kemana?” Itu suara Kak Maftu. Ia menyambutku. Semakin membuatku untuk memiliki hati yang mau menyambut mereka juga. Dimanapun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar